Optimisme dan Pesimisme Pembelajaran
Berbagai peristiwa yang dialami siswa dapat mempengaruhi pola pikir. Peristiwa menyenangkan, membuat remaja cenderung merasa bahagia dan optimis. Peristiwa menyakitkan cenderung membuat siswa merasa sedih, pesimis, stress bahkan depresi. ElBahdal (2010) menyatakan beberapa alasan yang mempengaruhi individu menjadi pesimis, yaitu: (1) kekurangan, individu menggunakan alasan kekurangan selalu menyesali sumbersumber kesuksesan yang tidak dimiliki, (2) kekalahan, dan (3) keterbatasan. Studi yang dilakukan di Abington Township, oleh Jaycox, Reivich, Gillham, dan Seligman pada tahun 1994 (Seligman, 2008) menjelaskan secara keseluruhan presentase anak yang menunjukan pesimisme bahkan gejala depresi ringan hingga depresi berat sangatlah tinggi yaitu antara 2045%. 10% anak mengikuti workshop optimisme. Hasil penelitian menunjukan anak-anak yang tidak mengikuti workshop optimisme memiliki gejala tekanan depresi yang lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang mengikuti workshop optimisme.
Sikap optimis maupun pesimis sangat mudah ditularkan kepada orang lain.. Pesimisme dapat terlihat mengakar dan permanen. Pesimisme bukan sekadar berpikir negatif. Pesimisme juga mencakup sikap yang berfokus pada tujuan, sesuatu yang diperkirakan terjadi di kemudian hari. Orang yang pesimistis justru menduga hasil negatif cenderung akan terjadi.Salah satu tipe pesimisme ialah pesimisme defensif, yakni menggunakan pikiran negatif dengan cara yang berbeda dan diperhitungkan dapat mencapai suatu tujuan (Norem, 2000).
Dalam buku berjudul The Positive Power of Negative Thinking (Norem, 2002) disebutkan bahwa pesimisme defensif adalah suatu strategi yang membantu orang dengan kecemasan berlebih untuk mengelola kecemasannya sehingga mereka tidak lari dari masalah dan berusaha meraih tujuan.Salah satu faktor penting dalam pesimisme defensif ialah menetapkan ekspektasi yang rendah untuk rencana dan situasi tertentu, misalnya membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Menariknya, seorang dengan sikap pesimistis defensif dapat merencanakan berbagai tindakan untuk memastikan kemungkinan buruk yang dibayangkan tidak akan terjadi.Sikap pesimistis juga berhubungan dengan suasana hati yang negatif. Ketika diposisikan dalam suasana hati yang baik, seseorang yang pesimistis defensif tidak mampu menyelesaikan masalah.
Namun, ketika ditempatkan dalam suasana hati yang negatif, atau diberi tahu kemungkinan buruk yang akan terjadi, kinerja mereka menjadi jauh lebih baik.Pesimisme dan optimisme merupakan bagian dari karakteristik manusia sehingga berperan penting dalam menyikapi suatu isu dan masalah. Sebagai sifat yang alamiah, manusia yang pesimistis defensif berekspektasi pada hal yang terburuk terlebih dahulu, tetapi tetap mempersiapkan rencana alternatif. Sebaliknya, manusia yang optimistis akan selalu berekspektasi pada hasil yang terbaik dari keadaan yang terjadi. Dalam konteks tertentu, pesimisme bisa jadi lebih menguntungkan ketimbang optimisme dalam menunggu hasil atau kabar dari sesuatu yang berada di luar kuasa diri sendiri.
Sikap pesimis dan optimis pada siswa umumnya dapat dilihat dari cara yang biasa dilakukan dalam menjelaskan kejadian-kejadian buruk. Gaya penjelasan yang digunakan merupakan suatu kebiasaan dari pikiran, dipelajari saat masa kanak-kanak dan remaja. Gaya penjelasan dirangkai langsung dari pandangan terhadap posisi remaja di dunia seperti berharga dan dapat diterima atau tidak berharga dan tidak mempunyai harapan (Seligman, 2008). Remaja yang dibiarkan terus menerus dalam kondisi pesimis, tanpa ada bimbingan dan arahan akan memiliki pola pikir pesimis, tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, dan akan mempengaruhi nilai-nilai sosial di masyarakat.
Menurut Beck (dalam Astuty, 2008) orang yang pesimis memandang negatif terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan sehingga menimbulkan perasaan putus asa dan keinginan untuk bunuh diri. Sikap optimis diperlukan remaja dalam menghadapi rawannya masa remaja. Permasalahan, hambatan, maupun kegagalan yang dialami remaja tidak akan menimbulkan frustrasi dan sikap putus asa apabila memiliki sikap optimis terhadap situasi permasalahan yang dialami (dalam Astuty, 2008). Scheier dan Carver (dalam Astuty,2008) mengemukakan orang yang optimis menunjukkan sedikit gejala depresi, lebih baik dalam menggunakan strategi coping, dan mengalami sedikit gangguan fisik dibandingkan orang yang pesimis. Memiliki pola pikir pesimis secara terus menerus dapat mengakibatkan stres dan pesimisme skala berat dapat mengakibatkan depresi. Studi yang dilakukan mahasiswa Harvard University, individu yang terbiasa optimis pada usia 25 tahun ternyata jauh lebih sehat pada usia 45 dan 60 tahun dibandingkan dengan mereka yang tidak optimis (terbiasa pesimis). Studi lainnya tentang pesimis dan optimis memperlihatkan pesimisme dapat memicu timbulnya berbagai infeksi penyakit, kondisi kesehatan yang buruk, dan kematian lebih cepat. Penelitian yang dilakukan di Amerika terhadap sekitar 100 ribu wanita juga memperlihatkan individu yang optimis ternyata 14% lebih rendah mengalami kematian akibat penyakit berbahaya (Haryati, 2014).
Dampak lain yang dihasilkan dari sikap optimisme ini adalah daya juang (adversity question). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Satwika & Muslimah (2019) dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara optimisme dan adversity question yaitu semakin tinggi sikap optimisme maka akan semakin tinggi pula adversity question pada siswa. Penelitian lainnya dilakukan oleh Utami, Harjono & Kurniawan (2014) yang juga menyimpulkan bahwa adanya hubungan positif antara optimisme dan adversity question. Dalam pembelajaran, adversity question tentunya sangat dibutuhkan untuk mengatasi hambatan atau kegagalan dan menjadikan hal tersebut sebagai peluang untuk mencapai tujuan yang ingin ia capai.
DAFTAR PUSTAKA
Astuty, K. (2008). Hubungan Antara Optimisme Dengan Kecenderungan Depresi Pada Remaja. Naskah publikasi
Boman, Peter, Furlong, Michael & Shochet, Ian. 2009. Optimism and the School Context.
Handbook of Positive Psychology in School . Oxon : Taylor & Francis.
El- Bahdal, M.R. (2010). Asyiknya Berfikiran Positif. Jakarta : Zaman
Haryati, H. (2014). Optimis vs Pesimis. Diakses dari :
Http://www.kompasiana.com/henyharyati/makalah-optimis-vs-pesimis (10 Juni 2020)
Kurniati, L., & Fakhruddin, A. U. (2018). Pengaruh Optimisme terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA. Prosiding Seminar Nasional & Internasional(vol. 1, no. 1)
Latipah, E. (2015). Strategi self regulated learning dan prestasi belajar: kajian meta analisis. Jurnal psikologi, 37(1), 110-129.
Muslimah, I., & Wuri Satwika, Y. O. H. A. N. A. (2019). Hubungan Antara Optimisme Dengan Adversity Quotient Pada Siswa Kelas Xi Sma Negeri 2 Pare. Character: Jurnal Penelitian Psikologi., 6(1).
Noordjanah, A. (2013). Hubungan Harga Diri dan Optimisme Dengan Motivasi Belajar pada Siswa MAN Maguwoharjo Sleman Yogyakarta. Jurnal Psikologi Terapan dan
Pendidikan, 1(1).
Seligman, M.E.P. (2008). Menginstal Optimisme. Bandung : PT. Karya Kita
Utami, Isiya, B., Hardjono, & Nugraha, A. K. (2014). hubungan antara optimisme dengan adversity quotient pada mahasiswa program studi Psikologi Fakultas Kedokteran UNS yang mengerjakan skripsi. Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, 2(5).
Niceee Akhe
BalasHapus